pengertian korupsi — Kalo liat pejabat yang golongan pas-pasan atau sekedar PNS
golongan rendah mempunyai mobil yang sangat mewah dan rumah dimana-mana,
mungkin kamu akan bilang ah korupsi dia.. ! nah sebelumnya kalian sudah tahu
belum pengertian korupsi ?
so jangan asal nuduh yah kalo belum
tahu pengertian korupsi
ok berikut ini beberapa pengertian korupsi dari
berbagai ahli:
Istilah
|
Pengertian
|
Korupsi menurut Black’s Law
Dictionary
|
korupsi adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi
dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
|
korupsi menurut Syeh Hussein
Alatas
|
menyebutkan benang merah yang
menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di
bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran
norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian,
penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang
diderita oleh masyarakat.
|
korupsi menurut wikipedia
|
perilaku pejabat publik, baik
politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
|
korupsi menurut Pasal 2
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999
|
“Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
|
korupsi menurut corruption is the
abuse of trust in the interest of private gain
|
penyelahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi.
|
korupsi menurut Pasal 3
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999
|
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
|
korupsi menurut wikipedia
|
korupsi berasal dari kata latin
”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau
perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.
|
korupsi menurut wikipedia
|
Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
|
http://definisipengertian.com/2011/pengertian-korupsi/
Korupsi
adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang
memakai
uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.
Sebagai
akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat
dihormati.
Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata
masyarakat.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai
dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan
formal
(misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya
diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan
yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya
agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan
si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk
balas
jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga
yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan
pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang
demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah
laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan
masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Ada
beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan
dalam
penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan
moral
(41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2
%),
hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara
itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah
sebagai berikut :
a.
Peninggalan pemerintahan kolonial.
b.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji
yang rendah.
d.
Persepsi yang populer.
e.
Pengaturan yang bertele-tele.
f.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
© 2003 Digitized by USU digital library 3
Di sisi
lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi
yaitu :
a.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi
untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah
dengan
upeti atau suap.
d.
Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan
dengan
moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Di
India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat
dihindarkan.
f.
Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan
korupsi,
kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
g.
Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi
pemerintah,
mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Dari
pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji
yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi
yang lamban dan sebagainya.
2.
Warisan pemerintahan kolonial.
3.
sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak
ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan
oleh pejabat pemerintah.
3.
Akibat-akibat korupsi.
Nye
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1.
Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
modal,
terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.
ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,
menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3.
pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas
administrasi,
hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya
Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah
ketidak
efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan
sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha
terutama
perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam
kebijaksanaan
pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat
korupsi
diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata
ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata
sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan
pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara
umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi
kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
© 2003 Digitized by USU digital library 4
4.
Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi
tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan
terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu
mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies
the
means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung
jawab.
SEBAB DAN AKIBAT KORUPSI
Ada
beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang
masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden
(dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi
korupsi sebagai berikut :
a.
Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran
tertentu.
b.
Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c.
Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
wewenang
yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing,
dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas
diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d.
Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan
meningkatkan
ancaman.
e.
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban
korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya
ada
sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi
kesempatan
dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara
yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)
tindakan
yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan
korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi
haruslah
membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan
dalam
pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman
hukuman
kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya,
Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan
korupsi
yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
administratif
yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan
dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan
pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh
mungkin,
gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya
diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi
harus
diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat
lebih
cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak
pula.
Persoalan
korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara
pengkajiannya
pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi
deduktif
saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah
praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya
korupsi.
Kartono
(1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
© 2003 Digitized by USU digital library 5
2.
Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
nasional.
3. para
pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak
korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan
jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi
pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9.
Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab
etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono
(Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi,
perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor
di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal
yang
memalukan lagi.
Berdasarkan
pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
penanggulangan
korupsi adalah sebagai berikut :
a.
Preventif.
1.
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah
maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik
pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2.
mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan
pegawai
saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa
oleh
godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.
Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan
dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa
mereka
kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa
pelayanannya
kepada masyarakat dan negara.
4.
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
5.
menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan.
6. hal
yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness”
dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
peruasahaan
tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha
berbuat yang terbaik.
b.
Represif.
1.
Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2.
Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
© 2003 Digitized by USU digital library 6
IV. KESIMPULAN
1.
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi
keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2.
Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak
sendi-sendi
kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara
penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan
(preventif)
yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun
etos
kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik
negara
atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan
penghasilan
(gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan
diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau
atasan
lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan
kebijakan,
terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,
menumbuhkan
rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai.
Sedangkan
tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang
berlaku
pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan
herregistrasi (pencatatan
ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.
Penanganan Korupsi di Kepolisian
Submitted by Anonymous on Wed,
2006-08-23 01:21
Rumus pemberantasan korupsi, menurut
Arya Maheka (Komisi Pemberantasan Korupsi), adalah pencegahan, penindakan, dan
peran masyarakat.Kata kuncinya supremasi hukum. Tapi penegakan hukum di negeri
ini selalu tidak konsisten. Penegakan hukum sebatas makeup politik yang selalu
berubah seiring dengan pergantian pemerintah dan kekuasaan. Salah satu
institusi, penjaga gawang penegakan hukum yang setiap hari selalu berlumuran
darah kotor perilaku korupsi, adalah kepolisian. Praktek korupsi di institusi
ini sangat jelas, rutin, dan terbuka. Karena itu, perlu ada upaya
mengatasi--paling tidak meminimalisasi.
Setiap hari tidak sedikit masyarakat
yang menyaksikan transaksi perilaku korupsi dalam institusi ini. Tapi semua
diam. Masyarakat, yang menurut rumus pemberantasan korupsi Arya Maheka,
memiliki peran sangat penting dan strategis, ternyata tidak mampu memainkan
perannya dalam praktek kehidupan riil. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Paling tidak ada tiga hal yang bisa
menjelaskan fenomena ini. Pertama, ada kemungkinan masyarakat takut berhadapan
dengan mereka karena trauma dengan praktek politiknya selama rezim pemerintah
otoriter Orde Baru yang sangat seram dan menindas. Kedua, bisa jadi masyarakat
yang menyaksikan praktek korupsi oleh institusi ini memang merupakan bagian
dari mata rantai perilaku korupsi itu. Ketiga, bisa pula masyarakat kurang
memiliki sense pada perilaku korupsi, meski sangat merugikan kehidupan
berbangsa. Karena itu, perilaku korupsi dalam institusi ini menjadi kian tumbuh
subur dan kronis.
Pola korupsi yang acap kali terjadi
dalam institusi ini adalah pembuatan surat izin mengemudi; tilang bagi
kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor, yang melanggar lalu lintas; dan
segala jenis pelanggaran lainnya. Perilaku korupsi juga terjadi dalam proses
perpanjangan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor dan pengurusan surat-surat lainnya
yang melibatkan institusi ini. Ada kesan institusi ini memiliki proyek tahanan
dan sebagainya yang kondisinya sangat memilukan.
Saya kira semua masyarakat pernah
berurusan dengan institusi kepolisian. Tapi yang amat terasa terutama dalam
dunia bisnis, hal-hal yang menyangkut kendaraan bermotor. Telah menjadi rahasia
umum, setiap orang yang hendak membuat SIM selalu dan pasti mengalami
kesulitan. Tes kemampuan berkendaraan dan ujian tertulisnya dipersulit serta
tidak transparan, tingkat kelulusannya pun sangat minim sehingga mendorong
seseorang mencari jalan belakang (korupsi) meskipun harganya lebih mahal. Dalam
konteks inilah perilaku korupsi di institusi ini berjalan dari tahun ke tahun
hingga kini. Ironis bukan, ternyata perilaku korupsi tumbuh subur di ketiak
institusi penegak hukum sendiri.
Untuk memperpanjang BPKB pun banyak
masyarakat yang mengalami kesulitan. Prosesnya relatif lama, karena dalam
sistem pelayanannya terdapat virus korupsi. Salah satu penghambatnya adalah
biro jasa yang kongkalikong dengan institusi terkait. Seseorang bisa menunggu
berjam-jam, bahkan seharian di depan loket tanpa dilayani karena petugas loket
mengerjakan berkas milik para calo dengan kedok biro jasa itu. Jumlahnya
disinyalir sangat banyak sehingga berkas perorangan selalu dikesampingkan.
Pertanyaannya, mengapa mereka cenderung lebih mengerjakan perpanjangan BPKB
yang diajukan biro jasa atau calo? Adakah korupsi di balik semua ini?
Bahkan di ruang terbuka, seperti di
jalan raya, tidak sedikit aparat institusi ini yang memeras warga negara dengan
menilang para pengendara kendaraan bermotor. Ironisnya, sanksi yang diberikan
justru berada di luar jalur hukum. Biasanya mereka meminta pengendara membayar
sejumlah uang agar tidak ditilang dan masyarakat pun menuruti permintaannya
sebagai jalan pintas karena malas berurusan dengan mereka.
Korupsi yang sangat terang-terangan
juga terjadi di ruang tahanan. Tentu saja yang banyak mengetahui dan merasakan
hanyalah mereka yang pernah ditahan atau ada keluarga yang dipenjara. Hal
inilah yang pernah dikeluhkan seorang kawan ketika menjenguk keluarganya di
salah satu ruang tahanan di institusi ini di Jakarta. Menurut dia, untuk bisa
masuk, bertemu dengan keluarganya, mereka harus membayar Rp 10 ribu atau Rp
15-20 ribu setiap orang. Belum lagi kalau ingin diperlakukan istimewa, tentu
bayarnya amat mahal.
Seperti telah penulis jelaskan bahwa
rumus pemberantasan korupsi menuntut supremasi hukum dan peran masyarakat, maka
untuk meminimalisasi perilaku korupsi dalam institusi kepolisian ini menuntut
kerja ekstrakeras. Salah satunya adalah reformasi birokrasi pembelian kendaraan
bermotor. Seseorang yang hendak membeli kendaraan mesti memiliki SIM, yang
prosesnya menjadi satu paket dengan pembelian kendaraan itu. Sementara itu,
perpanjangan BPKB mesti bisa diproses melalui layanan perbankan. Dengan
demikian, akan terjadi pengurangan transaksi korupsi di jalan-jalan, karena
semua pengendara memiliki SIM dan perpanjangan BPKB bisa dilakukan tanpa harus
berhadapan dengan institusi korup.
Tentu saja peran serta masyarakat di
balik semua ini memiliki arti yang sangat penting. Tanpa kontrol sosial
masyarakat dan kesediaan birokrasi di kepolisian untuk diawasi, mustahil misi
ini bisa dilakukan. Saya kira, karena ini menyangkut institusi kepolisian yang
secara politik sangat krusial, sebaiknya Presiden sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi bisa melakukan intervensi.
Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA DPR
DARI FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL
PENEGAKAN DI
KEJAKSAAN
Pada
masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga
baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru
dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra
Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang
dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu
tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta
badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:
- Modus operandi yang tergolong canggih
- Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya
- Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan
- Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
- Manajemen sumber daya manusia
- Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
- Sarana dan prasarana yang belum memadai
- Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum
Upaya
pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai
lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu
sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU
No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31
Tahun 1999. Dalam UU ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan
juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor.
Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor
karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang
kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak
bisa diselesaikan oleh UU ini.
Akhirnya,
UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan
hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai
kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary
crime .
Karena
itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang
masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi
dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat.
Dari
ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan
penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI.
Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat
fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum
acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
PENANGANAN DI PENGADILAN
Mencermati fakta aktual
yang terjadi dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana
korupsi yang terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga
negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan berbagai modus
operandi belum menunjukkan hasil yang optimal, bahkan terkesan masih terjadi
diskriminatif perlakuan aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan,
penahanan, penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang sangat
kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu dan kekecewaan masyarakat
dan semakin kaburnya cita-cita penegakan hukum yang berkeadilan serta
bermartabat.Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih disempurnakan lagi bukan merupakan jaminan optimalnya penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah banyak mengalami kemajuan dengan berbagai karakteristik sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan berbagai kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga belum banyak bisa berbuat sekalipun harus diakui bahwa munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut.
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk perundang-undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi pidana dengan sanksi denda.
BEBERAPA PENYEBAB KORUPSI DI INDONESIA MENURUT BEBERAPA PAKAR
Pengamat
sosial politik dari IAIN Sumut, Drs Ansari Yamamah, MA.Perilaku materialistik
dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih "mendewakan"
materi telah "memaksa" terjadinya permainan uang dan korupsi.
"Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian
`terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat,"
Menurut
Prop. Dr. Nur Syam, M.Si. penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah
kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan
melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti
ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan.
Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah
dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus
berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan.
Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula
kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Jaksa
Agung Abdul Rahman Saleh mengakui, ada empat faktor dominan penyebab
merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum yang masih
lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan `political
will.` "Dari empat faktor itu telah menyebabkan uang negara dikorupsi
lebih kurang Rp300 triliun tiap tahunnya," katanya.
Erry
R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite
bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3) Lemahnya komitmen dan
konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas
dan profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga
perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja,
tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan, kejujuran,
rasa malu, moral dan etika.
Goenawan
Wanaradja, SH,MH Salah satu penyebab yang paling utama dan sangat mendasar
terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut masalah
keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri.
Kemiskinan
–kata orang– merupakan akar dari persoalan; tanpa kemiskinan tidak akan ada
korupsi. Apabila kemiskinan merupakan penyebab korupsi, bagaimana menjelaskan
mengapa mereka yang terlibat korupsi besar-besaran justru bukan orang miskin;
banyak diantara mereka adalah orangorang yang mempunyai uang dan kekuasaan.
Fenomena
bahwa korupsi tidak berbanding lurus dengan kemiskinan dapat dijelaskan dengan
“Hukum Kesepadanan Korupsi” yang dirumuskan oleh Revrisond Baswir. Hukum ini
menyatakan korupsi berbanding lurus dengan kekayaan seseorang. Artinya, semakin
kaya seseorang, semakin besar kekuasaan yang dimilikinya dan dengan demikian
semakin besar jumlah yang potensial dikorup.
Di
Indonesia, dimana elitnya sangat korup, pemerintah tidak mampu untuk membayar
pegawai negeri secara memadai. Penghasilan yang tidak sepadan ini dapat saja
dianggap sebagai penyumbang sebab terjadinya korupsi pada tingkatan rendah,
kalau tidak pada seluruh sistem.
Bibit
Samad Riyanto, membeberkan lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab
tindakan korupsi. "Satu adalah sistem politik. Ditandai dengan munculnya
aturan perundang-undangan, seperti perda, dan peraturan lain. 'Mereka' atau
pelaku dapat berlindung dengan aturan tersebut," ujar Bibit, ditemui
wartawan di kediaman almarhum orang tuanya di Jl Suparjan Mangun Wijaya,
Sukorame, Mojoroto, Kota Kediri, Kamis (3/12/2009) malam. Kedua, imbuh Bibit
adalah intensitas moral seseorang atau kelompok. "Ketiga adalah
remunisasi, atau pendapatan (penghasilan) minim. Namun tidak lantas yang
memiliki pendapatan tidak melakukan korupsi, jadi kembali lagi ke moral
tadi," jelas Bibit. Keempat, terus Bibit, pengawasan baik bersifat
internal-eksternal, dan kelimanya adalah budaya taat aturan. "Ini yang
paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka
masyarakat akan mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan.
AKIBAT KORUPSI
Akibat Korupsi
Posted by muxonated
2 Votes
Korupsi selalu membawa konsekuensi.
Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan
pembangunan yang berkelanjutan adalah:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Diambil dari sini.
http://mukhsonrofi.wordpress.com/2008/09/12/akibat-korupsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar